24 Desember 2008

Danowudu Legalkan Hukum Adat

Komitmen Jaga Kelestarian Lingkungan

DIKENAL sebagai salah satu desa hijau terbaik di Bitung, Danowudu ternyata menyimpang beragam budaya yang masih lekat dan dipegang teguh oleh para warganya. Jangan heran, untuk bisa memasuki kawasan tersejuk yang dikenal dengan sebutan Negeri Danowudu, segala aturan adat secara otomatis mengikat para pendatang. Mulai dari cara bertutur sapa dengan para tetua dan cara anda memasuki wilayah wilayah yang dijadikan sebagai aset dari Desa yang dibuka sejak tahun 1902 oleh seorang jurutulis asal Desa Kauditan, Johan Pinontoan bersama 40 KK asal Kauditan.
“Jadi jika memasuki daerah kami, jangan sekali kali membuang kata kasar pada yang tua, itu ada sanksi hukumnya,” tutur Benny Tengker salah satu tokoh masyarakat Danowudu yang dituakan. Tak hanya itu saja, Desa ini tetap teguh berpegang pada janji mereka untuk mencintai lingkungan. Tak heran, pembukaan lahan baru di hutan desa ataupun penjualan lahan untuk kepentingan pribadi dilarang keras di Desa yang memiliki 3 hutan adat yaitu Hutan Air 12 Ha, Hutan Kayu Jati 5 Ha dan Hutan Air hujan. “Jika membuka hutan atau pun menjual lahan dan rumah bagi orang lura tanpa sepengetahuan tetua adat. Maka penjualan itu dianggap tak sah. Negeri Danowudu tetaplah desa adat. Dan warganya harus mematuhi hal ini, ini telah disepakati dalam aturan adat Danowudu” tambah Stenly sambil menambahkan bahwa warga Danowudu dilarang keras melakukan penebangan diareal hutan adat.
Untuk lebih melegalkan eksistensi adat di Danowudu, tahun 2004 dibentuklah lembaga Pemangku Adat Negeri Danowudu (PAND) melalui upacara ritual adat Ator Kampong yang dilakukan oleh Tonaas Hans Legoh dan Tonaas J Wurangian, yang disahkan pula melalui akta notaries Nomor 2 (6/12/2004) sebagai suatu ormas yang mewakili masyarakat adat negeri Danowudu. Lahan pengkuburan pun hanya dikhususkan bagi warga asli yang tinggal dan diam di desa Danowudu.(yew)
http://www.mdopost.com - Friday, 13 June 2008

21 Desember 2008

Aset Dunia di Tangkoko

Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau disebut yaki dalam bahasa lokal.
MARKING tag (penanda) berbentuk pita bertulis kode petunjuk jalur dan ketinggian itu, entah ada berapa banyaknya, tersebar di penjuru dahan pohon dalam rimbun cagar alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. "Itu tanda-tanda yang dibuat para peneliti," ujar Frangki, satu dari empat pemandu lokal yang membantu kami mencari monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau disebut yaki dalam bahasa lokal.

Saat matahari belum menampakkan sinarnya, saya bersama enam rekan fotografer pada kegiatan Exploring Celebes, merayakan 150 tahun Ekspedisi Wallace yang dimotori oleh National Geographic Indonesia dan Sony Indonesia, bergerak perlahan mencari posisi kelompok yaki yang baru turun ke tanah dari peraduannya di atas pohon. Selain kami dan para pemandu, di lokasi tempat gerombolan yaki yang kami temukan tampak dua peneliti asing asyik mengikuti pergerakan yaki sambil mencatat segala polah tingkah lakunya.

"Jumlah peneliti asing? Yah, kira-kira ada enam orang pada setiap musim (per enam bulan). Kebanyakan dari Eropa," kata Simson, pemandu lainnya yang kerap dipakai para peneliti. "Kalau wisatawan asing, bisa ribuan per tahun. Mereka mau lihat yaki, tangkasi, juga burung-burung khas, satwa endemik di sini," ujarnya.

Tangkoko memang populer di kalangan ilmuwan. Di tempat inilah Alfred Russel Wallace, seorang naturalis muda Inggris, pernah menapakkan kakinya sekitar tahun 1850-an dan terpesona dengan maleo (Macrocephalon maleo) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa). Dari penelitian lapangan di Nusantara dalam kurun 1860-1860, Wallace mengamati penyebaran satwa, lalu mengenali dua wilayah biogeografi India dan Australia yang sangat berbeda. Ia membagi dua kelompok satwa dan menarik garis batas timur-barat yang hingga sekarang dikenal sebagai garis Wallace, dimulai dari selat antara Kalimantan dan Sulawesi, terus ke selatan antara Bali dan Lombok.

Pada tahun 1858, Wallace juga menulis kumpulan surat dan makalah yang memuat tentang teori evolusi melalui seleksi alam (walau tidak secara rinci disebutkan demikian) kepada Charles Darwin di Inggris (yang saat itu telah menjadi naturalis ternama di Inggris). Makalah ini kemudian memacu Darwin menerbitkan On The Origin of Species tahun 1859, yang memperkenalkan teori evolusi yang menggemparkan.

Sulawesi yang unik konon dikunjungi Wallace sebanyak tiga kali. Satwa di kawasan ini merupakan percampuran atau zona transisi dua wilayah zoogeografi, Asia dan Australia. Bagi konservasi biologi, proporsi jenis satwa endemik Sulawesi termasuk yang tertinggi di Indonesia. Cagar alam Tangkoko sendiri adalah salah satu rumah satwa Sulawesi yang sangat penting. Di kawasan konservasi seluas 8.718 hektar ini tercatat keberadaan 26 jenis mamalia (10 jenis endemik Sulawesi), 180 jenis burung (59 endemik Sulawesi dan 5 endemik Sulut), serta 15 jenis reptil dan amfibi.

Maleo dan babi rusa yang memesona Wallace kini sulit dijumpai di Tangkoko, demikian juga anoa (Bubalus depressicornis). Ketiga satwa endemik Sulawesi tersebut diduga telah punah akibat pemburuan dan perusakan habitat. Walau demikian, sejumlah satwa lainnya masih dapat ditemui di sini. Yaki, tangkasi (Tarsius spectrum), dan julang sulawesi atau rangkong (Rhyticeros cassidix) adalah tiga dari sejumlah satwa yang menjadi magnet pesona Tangkoko.

Entah telah berapa banyak ilmuwan dalam dan luar negeri yang telah datang demi kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan penelitian. Bila Tangkoko bisa dikatakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang sangat penting di dunia, jika satwa-satwa itu punah, tak hanya Indonesia, bahkan dunia pun kehilangan.

Foto dan teks: Lasti Kurnia

Foto-foto lainnya dapat dinikmati di Photo Story Kompas Images.